Tuberkulosis paru sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di seluruh belahan dunia, terutama di Negara berkembang seperti Indonesia, sehingga pada tahun 1993 WHO telah mencanangkan bahwa TB Paru merupakan kedaruratan global, karena sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi penyakit tersebut dan tidak terkendali, disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular yaitu penderita yang dalam pemeriksaan dahaknya ditemukan BTA (Basil Tahan Asam) yang selanjutnya disebut BTA positif (Dep. Kes. RI. 2000).
Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar sembilan juta penderita TB baru dengan kematian tiga juta orang. Di negara berkembang, kematian karena TB merupakan 25% dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara berkembang dan 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). WHO menyatakan bahwa setiap detik satu orang terinfeksi TB dan setiap sepuluh detik satu orang meninggal karena TB. Kematian wanita karena TB sekitar satu juta per tahun, jumlah ini melebihi kematian wanita karena kehamilan, persalinan dan nifas. WHO (1999) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara penyumbang TB terbesar ketiga didunia setelah India dan Cina, diperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus per tahun, diantaranya ada 262.000 kasus TB menular, dengan kematian 140.000 orang per tahun karena TB.
Penanggulangan penyakit tuberculosis di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1949, dengan mendirikan Lembaga Pemberantasan Penyakit Paru-Paru (LP4) di Yogya, kemudian berkembang menjadi BP4 (Balai Pemberantasan Penyakit Paru) yang tersebar di 53 tempat di seluruh Indonesia. Pada waktu itu hasil diagnosa masih mengandalkan pemeriksaan poto rontgen, dengan melihat kelainan/parut pada rongga paru-paru, dan hanya mengandalkan perawatan di sanatorium. Dengan perkembangan tehnologi terjadi perubahan metode pengobatan, setelah obat antibiotic/vaksin ditemukan seperti Stretomicin, PAS,INH maka metode pengobatan sanatorium ditinggalkan, diganti dengan pengobatan dan program Imunisasi Nasional yang ditujukan kepada bayi dan anak sebelum umur 1 tahun harus sudah harus lengkap status imunisasinya.
Pada tahun 1969 dilaksanakan Pertemuan Nasional di Ciloto, telah dirumuskan Dasar-Dasar Penanggulangan Penyakit Paru di Puskesmas yang meliputi kegiatan : Penemuan Penderita, Pengobatan, Pengendalian Penderita, dan Imunisasi BCG, sejalan dengan upaya di Indonesia, nampak nya Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1993 telah merumuskan Strategi Global Pemberantasan TBC yang efektif yang dikenal dengan Strategi DOTS (Directly Observed Treatmen Short Course), strategi ini sangat memuaskan, karena memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi, namun karena cakupan belum mencapai 70%, maka dampak epidemiologis belum bisa dirasakan, oleh karena itu perlu dipercepat dengan Gerakan Terpadu Nasional (Gerdunas) dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Pada saat ini seluruh Puskesmas di Indonesia telah melaksanakan strategi DOTS, tetapi Rumah Sakit, Poliklinik, Dokter Ptraktek swasta belum, masih dalam proses pendekatan.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT 1965) dinyatakan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 1979-1982 telah dilakukan survey prevalensi di lima belas propinsi dengan hasil 200-400 kasus TB per 100.000 penduduk (Dep. Kes. RI. 2000).
Jumlah penduduk Kabupaten Malang pada tahun 2004 sebesar 2.317.153 jiwa, berdasar Prevalensi Nasional, maka Angka Penderita Baru (CDR) penyakit TB Paru tiap tahun sebesar 3.012 jiwa, dan target nasional sebesar 70% dari penderita baru sebanyak 3.012 jiwa, target tersebut belum dapat dicapai, hasil penemuan penderita baru (CDR) Dinas Kesehatan Kabupaten Malang tahun 2004 sebesar :16.17%, dengan kesenjangan sebesar 70% - 16.17% = 53.83%. Berdasar pencapaian sebesar 16.17%, yang merupakan hasil kegiatan Puskesmas se Kabupaten Malang, dapat diketahui bahwa semua Puskesmas belum dapat mencapai target sebesar 70% dari total penderita dalam wilayah kerjanya.
Besarnya masalah Program Penanggulangan TB Paru sebesar 53,83% disebabkan karena :
1. Penderita penyakit TB menganggap sakit batuk biasa, sehingga tidak segera berobat ke Puskesmas.
2. Puskesmas belum dipercaya oleh masyarakat, dan masih dianggap obat yang diberikan Puskesmas tidak manjur.
3. Kinerja Puskesmas belum optimal dalam upaya Penanggulangan tuberkulosis.
4. Masih bayaknya praktek pengobatan yang belum menggunakan strategi DOTS
5. Kemampuan Pemeritah Daerah dalam menyediakan dana sangat terbatas.
Berdasar hal tersebut diatas, mengingat besarnya masalah yang dihadapi program penanggulangan TB, maka penulis mengangkat judul : “ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PUSKESMAS DALAM PENEMUAN BTA (+) TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KABUPATEN MALANG “
Salah satu tujuan jangka pendek P2TB adalah terciptanya cakupan penemuan penderita baru TB secara bertahap hingga mencapai 70% dari semua penderita TB yang diperkirakan ada pada tahun 2005. Strategi penemuan Pasive promotive case finding artinya tenaga Kesehatan Puskesmas menunggu secara pasif datangnya suspek ke Puskesmas, setelah Puskesmas melaksanakan penyuluhan tentang penyakit TB pada Masyarakat. Strategi ini dimaksudkan agar setiap penemuan penderita BTA(+) harus dapat disembuhkan agar tidak menjadi sumber penularan baru, penderita yang mempunyai keluhan batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih, dengan gejala lain yang sering dijumpai : dahak berwarna kuning kehijauan, dahak bercampur darah, sesak nafas, dan rasa nyeri dada, badan lemas, nafsu makan turun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat dingin di malam hari walaupun tanpa kegiatan meriang lebih dari sebulan dan dipastikan ada kuman TBC dalam pemeriksaan dahak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar